Rabu, 08 Januari 2014

Positivisme Hukum Analitis

POSITIVISME HUKUM ANALITIS

I.          Pengertian Positivisme
Positivisme sebagai metode filsafat, dikenal juga sebagai paham empiris (empiricism)[1],  August Comte (1798-8157), seorang Matematikawan dan Filosof Perancis dapat dianggap sebagai pendiri filsafat positivisme modern. Dia membedakan tiga tahapan dalam pemikiran manusia. Tahap pertama adalah tahapan teologis, di mana seluruh phenomena dijelaskan dengan mengacu pada sebab-sebab yang bersifat gaib dan intervensi dari Tuhan. Tahap kedua adalah tahap metafisika, di mana pikiran memiliki jalan lain untuk mencapai prinsip-prinsip dan ide-ide pokok yang dipahami sebagai ada di bawah permukaan sesuatu dan merupakan kekuatan penggerak yang nyata dalam evolusi manusia. Tahap ketiga dan terakhir adalah tahap positivistik, yang menolak semua konstruksi hipotetis dalam filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan dan membatasi diri pada pengamatan empiris dan koneksi fakta di bawah bimbingan metode yang digunakan dalam ilmu alam[2].
Pemikiran Auguste Comte yang dikenal sebagai “hukum tiga tahap” ini, yang menggolongkan positivisme sebagai bagian terakhir dalam tahap perkembangan pemikiran manusia adalah terbuka terhadap keberatan-kebaratan yang penting. Bagaimanapun,  Pemikiran ini menyediakan tujuan yang bermanfaat dalam menggambarkan pergerakan dan petunjuk umum Filsafat Barat dari awal abad pertengahan ke awal abad kedua puluh. Sepanjang yang menyangkut filsafat hukum, kita telah melihat bahwa penafsiran hukum selama abad pertengahan sangat dipengaruhi oleh pertimbangan teologis: hukum dibawa ke dalam hubungan dekat dengan wahyu ilahi dan kehendak Tuhan. Periode dari Renaissance ke sekitar pertengahan abad kesembilan belas, dapat digambarkan sebagai era metafisika dalam filsafat hukum. Doktrin hukum alam klasik begitupun evolusi filsafat hukum yang dianjurkan oleh Savigny, Hegel, Marx digolongkan dengan unsur-unsur metafisik tertentu. Teori-teori ini berusaha untuk menjelaskan sifat hukum dengan mengacu pada ide-ide tertentu atau prinsip-prinsip pokok, yang dipahami sebagai bekerja di bawah permukaan sesuatu. Tidak ada di antara, alasan abadi filiosof hukum alam atau “semangat nasional” dan “kekuatan operasi diam-diam” milik Savigny membentuk hukum atau “spirit dunia” milik Hegel yang menangani suluh evolusi dari satu Negara ke Negara yang lain  maupun "lenyapnya hukum dalam masyarakat komunis, yang dapat dinilai dan diukur dalam terminilogi dunia empiris. Semua konstruksi ini adalah "metafisik" ​​dalam arti luas, sejauh mereka mereka melampaui penampilan fisik sesuatu dan hal-hal yang bertolak dari asumsi kekuatan tak terlihat dan sebab utama yang harus dicari di balik fakta-fakta pengamatan langsung[3].
Di pertengahan abad kesembilan belas timbul sebuah gerakan balasan yang kuat terhadap kecenderungan metafisis pada abad sebelumnya. Gerakan ini dapat digambarkan dengan bebas tetapi istilah yang luas dari positivisme. Positivisme, sebagai sikap ilmiah menolak spekulasi apriori dan berusaha untuk membatasi diri pada data pengalaman. Positivisme menolak semangat luhur yang tinggi dan membatasi tugas ilmu pengetahuan kepada analisis "diberikan." Posistivisme menolak untuk melampaui fenomena persepsi dan menyangkal kemungkinan pemahaman alam dalam ‘esensi’. Pemikiran dasar positivisme telah disiapkan oleh keberhasilan besar yang dicapai dalam domain ilmu-ilmu alam pada paruh pertama abad kesembilan belas . Keberhasilan ini menimbulkan godaan yang kuat untuk menerapkan metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam ke bidang ilmu-ilmu sosial. Pengamatan yang hati terhadap fakta empiris dan data panca indra adalah salah satu metode prinsip yang digunakan dalam ilmu pengetahuan alam. Diharapkan bahwa dalam ilmu pengetahuan sosial metode yang sama akan terbukti sangat bermanfaat dan berharga[4].
Dimulai dengan paruh kedua abad kesembilan belas, positivisme menyerbu semua cabang ilmu-ilmu pengetahuan sosial, termasuk ilmu pengetahuan hukum. Positivisme hukum dengan teori positivistik pada umumnya berbagi keenganan kepada spekulasi metafisik dan untuk mencari prinsip-prinsip pokok. Positivisme menolak setiap upaya oleh para sarjana yurisprudensi untuk melihat dan mengartikulasikan ide hukum melampaui realitas empiris sistem hukum yang ada. Positivisme hukum Ini berusaha untuk mengecualikan pertimbangan nilai dari ilmu pengetahuan hukum dan untuk membatasi tugas ilmu ini untuk analisis dan pembedahan peraturan hukum positif. Para positivis hukum berpendapat bahwa hukum itu hanyalah hukum positif, yang dimaksudkan sebagai hukum positif adalah norma-norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara. Dalam kata-kata dari Hungaria ahli hukum Julius Moor, ‘positivisme hukum’ adalah sebuah pandangan yang menurutnya hukum itu dihasilkan oleh kekuatan penguasa dalam masyarakat dalam proses sejarah. Dalam pandangan ini satu-satunya hukum adalah yang merupakan perintah kekuatan yang berkuasa dan apa pun yang telah diperintahkan adalah hukum." Para positivist hukum juga bersikeras pada pemisahan ketat hukum positif dari etika dan kebijakan sosial, dan dia cenderung untuk mengidentifikasi keadilan dengan legalitas, yaitu ketaatan terhadap aturan yang ditetapkan oleh negara.[5]
W. Friedmann menyatakan bahwa seperti halnya penekanan atas kecenderungan-kecenderungan dalam filsafat teoritis yang bergeser dari metafisi ke empiris, sesuai dengan pergeseran spekulasi oleh gejala yang diamati dan penafsirannya dalam alam, begitu pula tumbuhnya porsitivisme analitis dalam ilmu hukum pergeseran tatanan duniawi yang tersusun tidak erat atau tatan gerejani internasional oleh Negara nasional modern. Munculnya Negara modern sebagai tempat penyimpanan yang kian lama kian khusus dari kekuasaan politik dan hukum, tidak hanya menimbulkan kelas professional, dari pegawai-pegawai sipil, para cendekiawan dan lain-lain, yang secara bertahap lebih memberikan loyalitas dan bakatnya kepada Negara nasional modern daripada kepada gereja internasional atau kaisar yang jauh dan tidak berdaya; yang lebih menuntut pengorganisasian sistem hukum, susunan hirarkis dari kekuasaan yang sah, dan disusunnya bahkan hukum yang terus meningkat jumlahnya ke dalam suatu sistem[6].
Lebih lanjut, W. Friedmann menyatakan bahwa Hart membedakan lima arti dari posistivisme seperti yang banyak disebut dalam ilmu hukum kontemporer, yaitu: (1) anggapan bahwa undang-undang adalah perintah-perintah manusia, (2) anggapan bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral atau hukum yang ada dn yang seharusnya ada, (3) anggapan bahwa analisa (atau studi tentang arti) dari konsepsi-konsepsi hukum: (a) layak dilanjutkan, dan (b) harus dibedakan dari peelitian-penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, dan kritik atau penghargaan hukum apakah dalam arti moral, tuntutan-tuntutan sosial, fungsi-fungsinya, atau sebalaiknya, (4) anggapan bahwa sistem hukum adalah suatu “sistem logis tertutup” di mana putusan-putusan hukum yang tepat dapat dihasilkan dengan cara-cara yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan, norma-norma moral, dan (5) anggapan bahwa penelitian-penelitian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan, seperti halnya dengan pernyataan-pernyataan tentang fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk, atau bukti (non-cognitivisme dalam etika). Yang disebut paling akhir dari semua ini tidak dianggap unik bagi posistivisme analitis. Hal tersebut dibagi oleh gerakan ‘relativistik’ dalam ilmu hukum yang kadang meskipun secara keliru diidentifikasi dengan posistivisme. Dari empat lainnya, anggapan bahwa sistem hukum adalah “sistem logis yang tertutup” dekat hubungannya dengan dalil yang lebih umum tentang pemisahan yang tepat antara apa yang ada dan yang seharusnya ada. Yang terkena penyederhaan ini, perbedaan-perbedaan antara aspek-aspek yang bermacam-macam dari positivism analitis adapat dinilai dan penting.[7]
Pada prinsipnya pemisahan hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada, adalah asumsi filosofis yang paling fundamental dari posistivisme hukum. Pemisahan ini merupakan pancaran dari hukum alam yang lebih tinggi, maupun dari peleburan filsafat hukum dan ilmu pengetahuan hukum sebagaimana yang paling penting disajikan dalam sistem Hegel, pemisahan ‘yang ada’  dari ‘yang seharusnya ada’ sama sekali tidak meremehkan pentingnya nilai-nilai dalam hukum, sebagaimana dengan jelas dalam karya Austin, Kelsen dan yang lainnya. Pemisahan itu menepatkan keduanya dalam bidang-bidang yang benar-benar berbeda[8].
Suri Ratnapala, menyatakan bahwa positivisme hukum mengandung kemiripan dengan positivisme logis (logical positivism), tetapi berbeda dalam dalam beberapa cara. Positivism hukum bertujuan untuk mengidentifikasi hukum ‘yang ada’. Ini tampaknya mudah tapi tidak. Pertama ada pertanyaan, apa yang kita maksud dengan hukum? Kata “law” (atau bahasa yang sepadan) memiliki banyak arti. Kita dapat secara langsung menolak pengertian ‘law’ yang digunakan oleh scientist alam –seperti second law of thermodynamics or Newton’s three laws of motion. Hukum yang ilmiah adalah teori-teori tentang dunia alam –kenapa sesuatu terjadi, cara yang merka lakukan. Hukum yang menjadi perhatian kita adalah sangat berbeda jenisnya, yaitu, hukum yang memberitahu masyarakat apa yang mereka boleh lakukan, harus lakukan, atau harus tidak dilakukan. Kita menyebut hukum ini ‘hukum normatif’[9].
Ada beberapa tipe hukum normatif. Termasuk di dalamnya hukum agama, hukum moral, hukum adat dan hukum etik. Positivism hukum mengajukan teori-teori tentang bagaimana kita dapat membedakan hukum dalam pengertian legal dari hukum dalam pengertian non-legal. Teori-teori ini umumnya menghubungkan alat-alat hukum hanya kepada peraturan-peraturan yang diperoleh dari hukum yang membuat otoritas eksis sebagai kenyataan politik dan sosial. Sebuah aturan secara universal dapat diamati di dalam masyarakat tapi tidak akan dianggap sebagai hukum dalam buku-buku posistivisme kecuali hukum itu dibuat atau diakui oleh otoritas yang berkuasa. Hart adalah pengecualian di antara legal positivist. Dia berpendapat tidak ada alasan menolak nama “law” kepada aturan-aturan adat yang dijalankan oleh masyarakat primitive yang tidak mempunyai ‘pembuat undang-undang (legislatures) atau pengadilan atau otoritas lainnya. Dia menyebut aturan-aturan ini kewajiban peraturan primer. Demikian juga, Hart menganggap hukum internasional sebagai ‘law’, walaupun masyarakat internasional tidak mempunyai badan untuk membuat hukum dan kapasitas untuk menegakkan hukum yang kita harapkan pada sistem hukum nasional (1997, Ch. X). dia membuat pengematan yang jelas bahwa sistem hukum nasional yang dikembangkan umumnya memperlihatkan sekumpulan peraturan sekunder yang mengatur pengakuan kewajiban peraturan primer, perubahan-perubahan, penerapan-penerapannya (1997, Ch. X). Peraturan sekunder ini memberikan kewenangan/kekuasaan kepada badan tertentu untuk membuat, mengumumkan atau merubah hukum, dan mendefinisikan kekuasaan mereka dan prosedur-prosedur. Di dalam sistem common law, peraturan sekunder mendefinisikan kekuasaan pembuatan hukum legislature dan memberi kepada pengadilan kekuasaan untuk menafsirkan dan mengumumkan hukum yang relevan dalam kasus tertentu yang datang ke hadapan mereka. Peraturan sekunder dapaat ditemukan dalam konstitusi tertulis atau mungkin eksis, seperti di UK, dalam bentuk kebiasaan.            
II.       Tokoh Positivisme dan Pemikirannya
A.    John Austin and Ajaran Hukum Analitis
Pada tahun 1832, 50 tahun setelah disempurnakannya Of Laws in General milik Bentham, John Austin mempublikasikan The Province of Jurisprudence Determined. Pada tahun 1819 Austin bersama keluarganya pindah ke London dari Suffolk dan bertetangga dengan Bentham dan James Mill, pelopor paham utilitarian. Dia menjadi teman dekat Bentham, yang pemikirannya mempertajam Jurisprudence Austin. Province of Jurisprudence berisi sepuluh pertama serial ceramah tentang Jurisprudence yang Austin sampaikan di Universitas London dari 1829 sampai 1833. Ceramah-ceramah tersebut tidak popular dan harus dihentikan karena sepinya pengunjung. Walaupun, versi yang dipublikasikan, menjadi teks jurisprudence berbahasa Inggris yang yang paling berpengaruh lebih dari 100 tahun[10].
Karya John Austin tetap merupakan usaha yang paling lengkap dan penting untuk merumuskan suatu sitem positivisme hukum analitis dalam hubungannya dengan negara modern. Sumbangan Austin yang paling penting bagi teori hukum adalah digantinya perintah yang berdaulat ‘yakni negara’ bagi tiap cita keadilan dalam definisi hukum. Austin mendefinisikan hukum sebagai[11]:
“peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya”.
Jadi hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan dan, didasarkan tidak atas gagasan-gagasan tentang yang baik dan buruk, yang didasarkan atas kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam hal ini Austin sama dengan Hobbes dan para teoritisi kedaulatan lainnya; tetapi terserah Austin untuk memasukkan konsepsi ini ke dalam cabang-cabang sistem-sistem hukum modern[12].
Hukum pertama-tama dibagi dalam hukum yang diadakan oleh Tuhan untuk manusia (hukum Tuhan), dan undang-undang yang diadakan oleh manusia untuk manusia (hukum manusia). Dalam sistem Austin, kelompok undang-undang yang disebut duluan (hukum Tuhan) tidak memiliki arti yuridis, dibanding misalnya dengan ajaran Skolastik yang mengadakan hubungan organis antara hukum Tuhan dan hukum manusia. Dalam sistem positivismenya Austin, yang menolak menggabungkan hukum dengan kebaikan dan keburukan, hukum tampaknya tidak mempunyai fungsi lain daripada wadah-wadah kepercayaan utilitarian Austin. Prinsip kegunaan adalah hukum Tuhan. Pernyataan Bentham tentang kepercayaan ini sama sekali tidak mempengaruhi prinsip--prinsip pokok ajaran Austin[13].
Hukum manusia dapat dibagi ke dalam undang-undang yang disebut hukum sebenarnya (hukum positif) dan undang-undang yang disebut hukum yang tidak sebenarnya. hukum sebenarnya (hukum positif) adalah undang-undang yang diadakan oleh kekuasaan politik (apakah yang tertinggi atau bawahan) untuk orang-orang politis yang merupakan bawahannya (seperti undang-undang dan undang-undang khusus), atau peraturan-peraturan yang diadakan oleh orang-orang, sebagai pribadi, berdasarkan hak-hak yang sah yang diberikan kepadanya. Sebagai contoh, Austin memberikan hak-hak kepada wali atas orang yang ada di bawah perwaliannya. Tetapi karena kekuatan hukum dari hak-hak semacam itu atas wali, maka jelas bahwa tiap hak pribadi yang dapat digunakan harus termasuk dalam kategori ini. Undang-undang yang ‘tidak sebenarnya’ adalah yang tidak diadakan –langsung atau tidak langsung- oleh kekuasaan politik. Dalam kategori ini ada beberapa macam peraturan yang berbeda: peraturan klab, undang-undang tentang mode; dalil-dalil tentang ilmu alam, peraturan-peraturan dari yang disebut hukum internasional. Semua ini oleh Austin diberi nama ‘moralitas positif’. Jadi menggambarkan baik dekatnya maupun perbedaannya dengan hukum positif.[14]     
Austin beranggapan bahwa hukum ‘yang sebenarnya’ mengandung 4 unsur, yaitu perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Hukum merupakan hasil dari perintah-perintah yang artinya adalah bahwa ada satu pihak yang menghendaki supaya pihak lain melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Kemudian pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan apabila perintah tersebut tidak dijalankan, dan penderitaan tersebut merupakan sanksi. Selanjutnya, suatu perintah diduga merupakan pembebanan kewajiban kepada pihak lain, hal mana terlaksana apabila yang memberi perintah adalah pihak yang memegang kedaulatan. Ajaran-ajaran Austin sama sekali tidak menyangkut kebaikan-kebaikan atau keburukan-keburukan hukum, oleh karena penilaian tersebut dianggapnya sebagai persoalan yang berbeda di luar bidang hukum. Walaupun Austin mengakui adanya hukum moral atau hukum alam yang mempengaruhi warga-warga masyarakat, akan tetapi secara yuridis tidak penting bagi hukum[15].
Karakteristik yang paling penting dari hukum positif, menurut doktrin Austinian, terdapat dalam karakter perintahnya. Hukum dipahami sebagai perintah dari penguasa. ‘Setiap hukum positif disusun oleh penguasa yang ditunjuk kepada seseorang atau orang-orang dalam keadaan tunduk kepada penulisnya." Tidak setiap perintah dianggap hukum oleh Austin. Hanya perintah-perintah umum, yang mengharuskan seseorang atau beberapa orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, pantas mendapatkan atribut hukum[16].
Ilmu pengetahuan hukum berkenaan dengan undang-undang positif atau undang-undang disebut tepat, kalau dipertimbangkan tanpa memandang kebaikan dan keburukannya. Setiap hukum positif dihasilkan dari pembentuk hukum,, yang ditentukan secara tegas sebagai yang berdaulat. Semua hukum positif atau tiap hukum yang disebut tepat, dibentuk oleh yang berkuasa atau badan yang berwenang untuk anggota atau anggota-anggota masyarakat politik yang bebas, dalam mana orang atau badan itu berwenang atau yang tertinggi.[17]   
Kedaulatan menurut Austin adalah: “kalau seseorang yang berkuasa, yang tidak biasa tunduk pada seseorang berkuasa yang sama, dipatuhi oleh sebagian besar dari masyarakat tertentu, yang menetapkan bahwa yang berkuasa adalah yang berdaulat pada masyarakat itu, dan masyarakat (termasuk yang berkuasa) merupakan masyarakat politik yang bebas”[18].
Lebih lanjut Austin menjelaskan bahwa penguasa itu bisa individu, atau badan atau kumpulan individu-individu[19].
B.     Hans Kelsen dan Teori Hukum Murni
Tujuan Hans Kelsen (1881-1973) adalah untuk memurnikan ilmu pengetahuan hukum dari kriteria evaluative dan elemen-elemen ideologis. Keadilan, sebagai contoh, dipandang oleh Kelsen sebagai konsep ideologis. Keadilan baginya adalah "cita-cita yang tidak masuk akal" yang mewakili kegemaran subjektif dan pilihan nilai seorang individu atau kelompok. Penegasan biasa, tulisnya, "bahwa memang ada hal seperti keadilan, tetapi itu tidak bisa didefinisikan dengan jelas, keadilan sendiri adalah sebuah kontradiksi. Bagaimanapun, keadilan sangat diperlukan untuk  kemauan dan tindakan manusia, keadilan tidak tunduk pada pengertian. Dipandang dari pandangan pengertian rasional, hanya kepentingan dan karenanya konflik kepentingan. Teori hukum yang dipertahankan Kelsen, tidak dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang merupakan keadilan karena pertanyaan ini tidak bisa dijawab secara ilmiah sama sekali. Jika keadilan diberikan tanda makna yang bersifat ilmiah, maka harus diidentifikasi dengan legalitas. Menurut Kelsen, sesuatu itu ‘adil’ untuk aturan umum yang betul-betul diterapkan dalam semua kasus di mana menurut isinya, aturan ini harus diterapkan . "Keadilan berarti pemeliharaan peraturan positif oleh penerapan hukum yang bersungguh-sungguh.[20]
Tujuan metodologis Kelsen tidak berhenti pada penghapusan pertimbangan nilai politik dan ideologi dari ilmu pengetahuan hukum. Dia ingin melangkah lebih jauh dengan menjaga teori hukum bebas dari segala yang tidak ada hubungannya, faktor non hukum. "secara tidak kritis," katanya, "ilmu hukum telah dicampur dengan unsur psikologi, sosiologi, etika, dan teori politik." Dia berusaha untuk mengembalikan kemurnian hukum dengan mengisolasi komponen-komponen dari pekerjaan seorang pengacara atau hakim yang dapat diidentifikasi sebagai hukum[21].
Dasar-dasar esensial dari sistem Kelsen dapat disebut sebagai berikut[22]:
(1)   Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
(2)   Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku bukan mengenai hukum yang seharusnya.
(3)   Hukum adalah ilmu pengetahuan normative, bukan ilmu alam.
(4)   Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
(5)   Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus.
(6)   Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum posistif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Dari dalil-dalil ini termasuk mudah untuk mengikuti hal-hal yang pokok dari teori hukum murni Kelsen. Dalam ketentuannya bahwa norma hukum berbeda dari norma moral, Kelsen sependapat dengan ajaran pokok mazhab analitis.
Kebenaran norma hukum berasal dari sumber eksternal dan ‘kaharusan’ yang khas dari hukum, yang dibedakan dari norma moral, adalah sanksinya. Ancaman sanksi yang harus dikenakan kalau sesuatu dilakukan atau tidak, merupakan ciri khas hubungan hukum. Sanksi semacam ini harus dilaksanakan oleh yang berwenang sehingga merupakan persoalan munculnya sumber norma-norma hukum. Ini adalah ajaran Austin, tetapi ada perbedaan yang penting. Bagi Austin hukum adalah perintah, bagi Kelsen, paksaan akan menempatkan unsur psikologis, yang asing bagi hukum. Norma hukum tidak mengenal perintah, tetapi suatu hubungan antara keadaan dan akibat. Kalau orang melakukan A, maka harus terjadi B. Hanya dalam arti ini hukum adalah suatu ‘yang seharusnya’. Jadi yang ada adalah hubungan subordinasi dan tiap sistem harus tertentu menyusun hirarki norma-norma, yang masing-masing dari sumber yang lebih tinggi. Akhirnya tiap norma hukum dalam suatu tatanan hukum tertentu mendapat keabsahannya dari norma dasar yang paling tinggi (groundnorm). Norma dasar ini sendiri tidak dapat dideduksi sehingga harus dianggap sebagai ‘hipotesa permulaan’. Bahwa parlemen yang berdaulat di Inggris adalah suatu norma dasar, tidak lebih logis daripada bahwa perintah Fuhrer adalah kewenangan hukum tertinggi bagi Nazi Jerman, atau bahwa suku-suku pribumi tunduk pada tukang sihir.[23]
Kita sudah melihat bahwa arti dari hukum oleh Kelsen telah direduksi pada sifat normatifnya. Dari sudut perspektif itu, maka tata hukum dipandang sebagai suatu sistem kaidah-kaidah yang tersusun secara hierarkikal, yang berlandaskan pada Grundnorm. Grundnorm ini harus dipahami dari sudut pandang hipotetikal: jika kita hendak memaparkan (mengerti) suatu tata hukum sebagai normative, maka kita harus memandangnya sebagai suatu ‘stufenbau’.[24]
Tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan hubungan-hubungan antara norma-norma dasar dan semua norma di bawahnya, tetapi tidak untuk mengatakan apakah norma dasar sendiri baik atau buruk. Hal tersebut merupakan tugas ilmu politik atau etika atau agama.[25]
C.    Neo - Analitic dan Linguistic Jurisprudence
Kecenderungan ini menjadi nyata dalam karya eksponen paling berpengaruh dari gerakan baru, filosof hukum Inggris Herbert LA Hart (b.1907). Ketegangan analitik yang nyata dalam pemikiran Hart jelas terlihat dalam tesisnya bahwa kunci ilmu yurisprudensi harus ditemukan dalam kombinasi dari dua kategori aturan, yang dia sebut primer dan sekunder. Aturan primer adalah mode standar tingkah laku yang mewajibkan anggota masyarakat untuk melakukan, atau menghindarkan diri untuk melakukan beberapa jenis tindakan. Aturan-aturan ini muncul dari kebutuhan masyarakat dan dirancang untuk menjamin cara memuaskan kehidupan. Akar kekuatan mengikat aturan-aturan tersebut terletak pada diterimanya aturan-aturan oleh mayoritas, dan tekanan yang kuat untuk memperhatikan mereka yang diberikan oleh mayoritas kepada anggota masyarakat yang tidak kooperatif[26].
Menurut Hart, sistem hukum yang dikembangkan juga harus memiliki satu set aturan "sekunder" yang membentuk mesin resmi untuk pengakuan dan penegakan aturan primer. Pertama-tama, mereka bermanfaat untuk mengidentifikasi ketentuan yang berlaku dan hidup dari sistem dalam beberapa mode otoritatif . Kedua , mereka membuat ketentuan untuk prosedur yang teratur dan formal yang dirancang untuk memodifikasi aturan primer. Ketiga, mereka menjamin pelaksanaan aturan primer dengan mengadakan perincian proses ajudikasi dan penegakan hukum[27].
Hal ini jelas bahwa pandangannya tentang hukum menghindari pandangan sepihak perintah Austinian dan berusaha untuk membangun jembatan antara konsepsi penting dan sosiologis hukum. Hart juga berupaya untuk mengurangi konfrontasi tajam yang sering ditandai hubungan antara positivis hukum dan percaya dalam hukum alam. Dia mengakui teori hukum kodrat bahwa "ada aturan tertentu perilaku yang setiap organisasi sosial harus berisi jika masih layak" dan bahwa aturan tersebut pada kenyataannya merupakan unsur umum dalam hukum semua masyarakat . Dia telah , di sisi lain , sangat membela aksioma positivistik bahwa tugas " kesetiaan kepada hukum" mencakup semua peraturan yang berlaku dengan uji formal sistem hukum meskipun beberapa dari mereka mungkin tegas bertentangan dengan arti moral masyarakat[28].
Profesor Hart juga telah menundukkan konsep kedaulatan Austinian kepada sebuah pencarian kritik, telah menulis secara luas tentang filsafat hukum pidana, dan terlibat dalam analisis mendalam tentang metode hukum dan proses peradilan. Tulisan-tulisannya telah menghasilkan komentar dan reaksi yang luas di seluruh lingkaran hukum Anglo-Amerika[29].
Peran bahasa dalam hukum ditekankan di Inggris oleh Glanville Williams (lahir 1911) dan di Amerika Serikat oleh Walter Probert (lahir 1925). Dies dari Williams, dalam studi semantic hukumnyanya, telah menetap secara luas pada ambiguitas kata dan karakter yang membuat emosi dari beberapa istilah hokum. William telah mengambil posisi bahwa kebingungan yang besar telah ditimbulkan oleh penggunaan konsep hokum yang membawa banyak arti yang berbeda, itu tidak dapat diterima untuk berbicara tentang "tepat" arti dari sebuah kata, dan bahwa untuk meresapi nilai dalam istilah seperti "keadilan," "salah”, atau "aturan hukum" melayani emosional daripada fungsi rasional. Probert telah menekankan perlunya "kata kesadaran" pada bagian dari pengacara , semenjak ia menganggap bahasa “instrumen utama dalam kontrol sosial”. Norma dan aturan sudah menjadi sifatnya ambigu, dia menegaskan, dan jantung dari proses common law di pengadilan adalah bukan aturan (walaupun aturan-aturan terlibat di dalamnya) tetapi retorika. Pandangan semantik hukumnya mengantarkan dia untuk mendefinisikan keadilan sebagai "pencarian beberapa panduan lisan untuk membantu dalam memilih di antara tempat bertanding.
Analitik modern dan ilmu hukum semantik menerima banyak stimulasi dari karya Ludwig Wittgestein (1889-1951), seorang filsuf kelahiran Austria yang kemudian mengajar di Universitas Cambridge dan mampu mempengaruhi tren pemikiran filsafat secara meyakinkan di lingkaran Anglo-Amerika. Dalam Tractatus Logiconya Philosophicus-nya Wittgenstein melakukan analisis bahasa, sebuah keberanian manusia berusaha yang dia gambarkan sebagai gambar dari fakta-fakta yang merupakan realitas. Dia menyatakan bahwa semua filsafat adalah kritik terhadap bahasa, itu tujuannya adalah klarifikasi logis dari pikiran dan hal itu sangat penting untuk menguraikan arti dari kalimat dan preposisi yang rumit dengan melarutkan mereka ke dalam unsur pokok dasarnya. Wittgenstein menolak gagasan bahwa itu adalah tugas filosuf untuk mengajukan penjelasan tentang cara kerja alam semesta, atau untuk menyarankan individu atau masyarakat bagaimana melakukan urusan mereka. Dia tidak menyangkal bahwa manusia dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan dari etika dan nilai , tetapi dia menganggap bahwa pertanyaan seperti itu berada di bidang mistik,  di mana proposisi yang bermakna tidak bisa diungkapkan[30].









[1] Suri Ratnapala, Jurisprudence, (New York: Cambridge University Press, 2009), hlm. 22
[2] Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, The Philosophy And Method Of The Law, (New Delhi: Universal Book Traders, 1996), hlm. 91
[3] Ibid, hlm. 91-92
[4] Ibid, hlm. 92-93
[5] Ibid, hlm. 94-95
[6] W. Firedmann, Teori & Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Sususnan I, II, III), diterjemahkan oleh Mohamad Arifin (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm. 147
[7] Ibid, hlm. 147-148
[8] Ibid, hlm. 148
[9] Suri Ratnapala, Op. Cit. hlm. 25
[10] Ibid, hlm. 36
[11] W. Firedmann, Op. Cit, hlm. 149
[12] Ibid, hlm. 149
[13] Ibid, hlm. 149
[14] Ibid, hlm. 150
[15] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, 1980), hlm. 39
[16] Edgar Bodenheimer, Op. Cit, hlm. 97
[17] W. Firedmann, Op. Cit, hlm. 150-151
[18] Ibid, hlm. 151
[19] Ibid, hlm. 151
[20] Edgar Bodenheimer, Op. Cit, hlm. 100
[21] Ibid, hlm. 100-101
[22] W. Firedmann, Op. Cit, hlm. 170
[23] Ibid, hlm. 171
[24] B. Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2013), hlm. 74-75
[25] W. Firedmann, Loc. Cit
[26] Edgar Bodenheimer, Op. Cit, hlm. 105
[27] Ibid, hlm. 105
[28] Ibid, hlm. 105
[29] Ibid, hlm. 106
[30] Ibid, hlm. 108

kesadaran dan Ketaatan Hukum

KESADARAN DAN KETAATAN HUKUM

I.       Pengantar
Selama ini, kita sering mendengar dan menggunakan istilah “kesadaran hukum” dan “ketaatan hukum”, namun sayangnya tidak jarang, tanpa kita sadari menyamakan 2 (dua) istilah hukum tersebut, padahal itu keliru.
Nah dalam makalah ini kami ingin mengupas tentang hal tersebut, guna meluruskan persepsi yang keliru tersebut.   
Ewick dan Sylbey, merumuskan “kesadaran hukum” itu mengacu ke cara-cara di mana orang-orang memahami hukum dan institusi-institusi hukum, yaitu pemahaman-pemahaman yang memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan orang-orang. Bagi Ewick dan Sylbey, “kesadaran hukum” terbentuk dalam tindakan dan karenanya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris. Dengan kata lain, kesadaran hukum adalah persoalan “hukum sebagai perilaku” dan bukan “hukum sebagai aturan” norma atau asas”.[1]
Satjipto Raharjo menyatakan ilmu hukum sebagai sebenar ilmu (genuine science) tidak hanya harus dapat membaca hukum yang dikonstruksikan, melainkan juga hukum sebagai perilaku tersebut. Ilmu hukum itu tidak dapat memaksakan, melainkan dengan terbuka melihat dan menerima apa yang terjadi dalam kenyataan dan kemudian menjelaskannya. Dalam kenyataan, kehadiran hukum sebagai perilaku itu sama sekali tak dapat digusur atau dipinggirkan oleh skema-skema hukum yang sengaja dibuat oleh manusia. System hukum modern itu akan tetap berdampingan dengan hukum yang muncul secara spontan, seperti dalam bentuk perilaku itu[2].


II.    Kesadaran hukum
Di dalam literatur-literatur hukum yang ditulis oleh pakar-pakar terkenal di dunia dibedakan adanya dua macam kesadaran hukum[3], yaitu:
(1)      Legal consciousness as within the law, kesadaran hukum sebagai ketaatan hukum, berada dalam hukum, sesuai degan aturan hukum yang disadarinya atau dipahaminya.
(2)      Legal consciousness as against the law, kesadaran hukum dalam wujud menentang hukum atau melanggar hukum.  
Achmad Ali, menyatakan kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektifitas hukum adalah tiga unsur yang salib berhubungan. Sering orang mencampur adukkan antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum, padahal kedua hal itu, meskipun sangat erat hubungannya, namun tetap tidak persis sama. Kedua unsur itu memang sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan perundang-undangan di dalam masyarakat.[4]
Krabbe[5] (dalam Paul Scholten, 1954:166) memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud sebagai kesadaran hukum:
“met den term rechtsbewustzijn meent men niet het rechtsoorrdeel over eenig concrete geval, doch he in ieder mensch levend bewustzijn van wat recht is of behoort tezijn, een bepaalde categorie van ons geesteleven, waardoor wij met onmiddelijke evidentie los van positieve instellingen scheiding maken tusschen recht en onrecht, gelijk we dat doen en onwaasr, goed en kwaad, schoon en leelijk”    
Terlihat di atas bahwa bagi Krabbe, kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Definisi Krabbe tersebut, sudah cukup menjelaskan apa yang dimaksud sebagai kesadaran (rechtsbewustzijn; legal consciousness). Pengertian ini akan lebih lengkap lagi, jika ditambahkan unsur nilai-nilai masyarakat, tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh Paul Scholten (1954: 168-169):
De term rechtsbewustzijn is dubbelzinnif. Hij duidt ten eerte categorie van het individueele geestesleven aan, doch dient tegelijk om het gemeenschappelijke in oordelen in een bepaalden kring aan te wijzen…Wat we “rechtsbewustzijn” noemen is in dit verbandt niet anders dan een min of meer vage voorstelling omtrent wat recht behoort te zinj…”.
            Kesadaran hukum yang dimiliki oleh warga masyarakat, belum menjamin bahwa warga masyarakat tersebut akan menaati suatu aturan hukum atau perundang-undangan. Kesadaran seseorang bahwa mencuri itu salah atau jahat, belum tentu menyebabkan orang itu tidak melakukan pencurian, jika pada saat di mana ada tuntutan mendesak, misalnya, kalau dia tidak mencuri, maka anak satu-satunya yang sedang sakit keras akan meninggal, karenanya tidak ada biaya pengobatan. Atau contoh lain, seseorang mempunyai kesadaran hukum bahwa melanggar lampu merah di “traffic light” adalah pelanggaran hukum, dan menyadari pula bahwa hanya polisi yang berwenang untuk menangkap dan menilangnya, orang itu, dengan kesadaran hukumnya tadi, belum tentu tidak melanggar lampu merah. Ketika orang itu melihat tidak ada polisi di sekitar traffic light, maka orang itu, karena terburu-buru untuk tidak terlambat menghadiri suatu acara penting, mungkin saja melanggar lampu merah, sekali lagi dengan kesadaran hukumnya, bahwa dirinya tidak akan tertangkap dan tidak akan dikenai tilang, karena tidak ada seorang pun polisi di sekitar itu.
            Soerjono Soekanto (9182: 125-256, 1983:96)[6], mengemukakan empat indikator kesadaran hukum, yaitu:
a.       Pengetahuan tentang hukum;
Pengetahuan hukum diartikan sebagai kesan di dalam pikiran seseorang mengenai hukum-hukum tertentu. Di sini pun kita harus berhati-hati, oleh karena ada pelbagai arti hukum; lagipula pengetahuan tentang hukum mungkin hanya terbatas pada hukum yang secara langsung mengatur kepentingan orang yag bersangkutan. Seorang warga masyarakat hukum ada, misalnya mungkin tidak tahu tentang hukum positif tertulis tertentu (misalnya mengenai Undang-Undang Pokok Agraria), akan tetapi dia mengetahui menganai hukum adat yang berlaku di dalam masyarakatnya. Apakah orang tersebut tahu hukum, atau tidak tahu hukum?..
b.      Pemahaman tentang hukum;
c.       Sikap terhadap hukum; dan
d.      Perilaku hukum.
Sebenarnya pendapat Sorjono Soekanto tersebut diadopsi dari pendapat beberapa pakar lain, yaitu pendapat dari B. Kutchinsky (1973:134), A. Podgrecki (1973:83), dan Y. Dror (1968: 167).
Menurut B. Kutchinsky (1973:134):
1.      Law awareness is…awareness of the very fact that certain type of behavior ir regulated bay law.
2.      Law acquaintance is…the amount of information a person has about the content matter of a certain normative regulation.
Sedangkan menurut A. Podgrecki (1973:83):
Legal attitude is…
a.       … a disposition to accept some legal norm or precept because it deserve respect as valid piece of law.
b.      … a tendency to accept the legal norm or precept because it appreciated as advantageous or useful…
Dan menurut Y. Dror (1968: 167):
Legal behavior is … legally desired behavior.      
            Mengeanai unsur pengetahuan tentang hukum, B. Kutchinsky (1973:134) mengemukakan bahwa :
       “knowledge about the law is neither a necessary nor a sufficient condition for conformity to the law”.
            Sudikno Mertokusumo[7], kesadaran tentang apa hukum itu berarti kesadaran bahwa hukum itu merupakan perlindungan kepentingan manusia. Bukankah hukum itu merupakan kaedah yang fungsinya adalah untuk melindungi kepentingan manusia? Karena jumlah manusia itu banyak, maka kepentingannyapun banyak dan beraneka ragam pula serta bersifat dinamis. Oleh karena itu tidak mustahil akan terjadinya pertentangan antara kepentingan manusia. Kalau semua kepentingan manusia itu dapat dipenuhi tanpa terjadinya sengketa atau pertentangan, kalau segala sesuatu itu terjadi secara teratur tidak akan dipersoalkan apa hukum itu, apa hukumnya, siapa yang berhak atau siapa yang bersalah. Kalau terjadi seseorang dirugikan oleh orang lain, katakanlah dua orang pengendara sepeda motor saling bertabrakan, maka dapatlah dipastikan bahwa, kalau kedua pengendara itu masih dapat berdiri setelah jatuh bertabrakan, akan saling menuduh dengan mengatakan “Kamulah yang salah, kamulah yang melanggar peraturan lalu lintas” atau “Saya terpaksa melanggar peraturan lalu lintas karena kamu yang melanggar peraturan lalu lintas lebih dulu”. Kalau tidak terjadi tabrakan, kalau tidak terjadi pertentangan kepentingan, sekalipun semua pengendara kendaraan mengendarai kendaraannya simpang siur tidak teratur, selama tidak terjadi tabrakan, selama kepentingan manusia tidak terganggu, tidak akan ada orang yang mempersoalkan tentang hukum. Kepentingan-kepentingan manusia itu selalu diancam oleh segala macam bahaya: pencurian terhadap harta kekayaannya, pencemaran terhadap nama baiknya, pembunuhan dan sebagainya. Maka oleh karena itulah manusia memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya. Salah satu perlindungan kepentingan itu adalah hukum. Dikatakan salah satu oleh karena disamping hukum masih ada perlindungan kepentingan lain: kaedah kepercayaan, kaedah kesusilaan dan kaedah kesopanan.
            Masalah kesadaran hukum, menurut Selo Sumarjan berkaitan erat dengan faktor-faktor sebagai berikut : a. Usaha-usaha menanamkan hukum dalam masyarakat, yaitu menggunakan tenaga manusia, alat-alat, organisasi, dan metode agar masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati hukum b. Reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai-nilai yang berlaku c. Jangka waktu penanaman hukum diharapkan dapat memberikan hasil[8].
            Lebih lanjut Ewick dan Silbey (1992) membedakan beberapa jenis “kesadaran” sebagai berikut:
a.       Consciousness as attitude (kesadaran sebagai sikap)
Konsep tentang kesadaran ini menunjukkan bahwa kelompok-kelompok sosial dari semua ukuran atau tipe (keluarga-keluarga, kelompok-kelompok sebaya, kelompok-kelompok kerja, perusahaan-perusahaan, komunitas-komunitas, institusi-institusi hukum, dan masyarakat-masyarakat), muncul dari tindakan-tindakan bersama individu-individu.
Tradisi liberal klasik, baik dalam teori politik maupun teori hukum, menggunakan konsep kesadaran ini. Menurut pendekatan ini, masyarakat politis adalah …suatu asosiasi individu-individu yang menentukan dirinya sendiri, yang menyatuan keinginan-keinginan mereka dan mengumpulkan kekuasaan mereka di dalam Negara, untuk tujuan-tujuan kepentingan diri sendiri yang sama-sama menguntungkan. Dalam hal ini kesadaran terdiri atas, baik nalar maupun keinginan (hasrat), meskipun demikian, menurut ideology liberal, keinginan, yang tetap dikaji dan tidak dijelaskan, adalah bagian yang menggerakkan aktif atau primer dari diri … apa yang membedakan orang-orang satu dari yang lain, bukanlah bahwa mereka memahami dunia secara berbeda, tetapi bahwa mereka menginginkan hal-hal yang berbeda, bahkan ketika mereka berbagi pemahaman yang sama tentang dunia tersebut. di sini personalitas manusia menjadi terlepas dari sejarah; manusia dapat dan memang membuat sejarah.
Dengan mengikuti konsep “sikap” tentang kesadaran hukum ini, banyak ilmu sosial Amerika Serikat pasca Perang Dunia II yang berusaha untuk mendukmentasikan variasi dalam keyakinan-keyakinan, sikap-sikap dan tindakan-tindakan di antara para warga Amerika, sebagai suatu sarana untuk menjelaskan bentuk dari institusi-instusi politik dan institusi-institusi hukum Amerika. Ironisnya, meskipun terdapat fokus sentral pada kapasitas dari keinginan-keinginan, keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap individual untuk membentuk dunia, tetapi riset yang dihasilkan, bukannya menggambarkan variasi individual, sebaliknya consensus normative mendalam, yang berbasis luas. Sementara para warga mengekspresikan skeptisisme yang permanen tentang keadilan institusi-institusi hukum, mereka tampak terikat, baik terhadap disukainya maupun terhadap kemungkinan merealisasikan ideal-ideal hukum untuk perlakuan yang sama dan adil.
Belakangan, Tom Tyler dan Aland Lind, telah mendokumentasi katerikatan warga Amerika kepada ideal-ideal keadilan dan due process yang sama, tentang apa yang ditandai sebagai keadilan procedural. Tyler dan Lind menunjukkan bahwa orang-orang mengevaluasi pengalaman-pengalaman hukum mereka, dalam kerangka proses-proses dan bentuk-bentk interaksi, ketimbang hasil-hasil dari interaksi-interaksi tersebut. dengan perkataan lain, sikap-sikap tentang hukum, berkorelasi kuat dengan putusan-putusan tentang keadilan procedural yang digunakan oleh otritas-otoritas hukum, ketimbang dengan apakah orang menjadi menang atau kalah di dalam proses tersebut. orang-orang peduli untuk memiliki otoritas-otoritas yang netral, jujur, yang membiarkan mereka untuk mengemukakan pandangan-pandangan meraka dan yang memperlakukan mereka dengan bermartabat dan hormat. Riset sikap ini menunjukkan bahwa “orang-orang kaya lebih tampil ke depan” ketimbang orang miskin, dan hal itu disebabkan karena warga menilai prosedur lebih besar ketimbang substansi. Struktur system hukum yang terstratifikasi, dengan demikian, ditopang oleh suatu “procedural consciousness” (kesadaran prosedural), yang direpresentasikan dalam komitmen-komitmen warga Negara terhadap formal equality (persamaan formal) ketimbang substantive equality (persamaan substantive). 

b.      Consciousness as epiphenomenon (kesadaran sebagai epiphenomenon)
Beberapa ilmuwan menganggap “kesadaran” sebagai produk samping dari operasi struktur-struktur sosial, ketimbang agen formatif dalam membentuk struktur-struktur. Dengan demikian, para ilmuwan strukturalis dan Marxis, beargumentasi bahwa individu-individu adalah pembawa-pembawa dari hubungan-hubungan sosial, dan sebagai konsekuensinya, adalah hubungan-hubungan sosial, bukannya individu-individu, itulah yang merupakan objek analisis yang tepat.
Mengikuti perspetif ini, maka beberapa ilmuwan memandang hukum maupun kesadaran hukum, sebagai epiphenomenon, yaitu, suatu struktur ekonomi terpenting untuk memproduksi suatu tertib hukum yang berkaitan atau yang tepat. Karya ini sering menggambarkan bagaimana kebutuhan-kebutuhan produksi dan reproduksi kapitalis, membentuk perilaku dan kesadaran hukum. Kajian-kajian memfokuskan pada produksi dan praktik hukum, akomodasi kepentingan-kepentingan kelasnya, dan stratifikasi serta ketidakadilan-ketidakadilan yang dihasilkan.
Riset belakangan dalam perspektif struktualis ini, menunjukkan bahwa tertib hukum berkembang sebagai tanggapan terhadap konflik-konflik dan ketidakkonsistenan yang dihasilkan oleh mode produksi kapitalis, ketimbang sebagai suatu instrument langsung dari kepentingan-kepentingan kelas tertentu.
Untuk melegitimasi ketidakkonsistenan- ketidakkonsistenan dan irrasionalitas-irrasionalitas yang dilahirkan dari konstradiksi-kontradiksi system ekonomi, maka tertib hukum, membentuk mitos-mitos, menciptakan lembaga-lembaga penindas dan berusaha untuk mengharminisasikan eksploitasi dengan kebebasan, perampasan dengan pilihan, kesepakatan-kesepakatan kontrak yang secara inheren tidak adil, dengan suatu ideology kemauan bebas,. Meskipun demikian, bahkan di dalam formulasi yang lebih kompleks ini, hukum dan kesadaran hukum, masih merupakan produk-produk ketimbang produsen-produsen hubungan sosial.
Dalam kaitan itu, beberapa literature telah memfokuskan pada “false consciousness” (kesadaran palsu) atau “the inability of subjects” (ketidakmampuan para subjek), khususnya para anggota dari kelas pekerja, untuk mempersepsi minat-minat mereka yang sebenarnya atau mengenali kepentingan-kepentingan yang bertentangan.
Suatu pandangan alternatif di dalam tradisi struktualis, memandang bahwa “kesadaran hukum” adalah salah satu dari cara-cara, yang di dalamnya, organisasi-organisasi sosial menghasilkan sarana-sarana untuk mewenangkan, menopang, dan memproduksi dirinya sendiri. Dengan memfokuskan pada pelegitimasian fungsi-fungsi hukum, maka riset memberi gambaran tentang cara-cara, yang di dalamnya hukum membantu orang-orang untuk memandang dunia mereka, baik privat maupun public, sebagai sesuatu yang alami, ketimbang sebagai sesuatu yang dibentuk melalui interaksi sosial. 

c.       Consciousness as cultural practice (kesadaran sebagai praktek kultural)
Kita telah menjumpai bahwa ketika kita mendengarkan kisah-kisah yang disampaikan oleh orang-orang kepada kita, tentang peristiwa-peristiwa dalam kehidupan mereka, tentang lingkungan-lingkungan tetangga mereka, tentang membeli dan menjual barang-barang, tentang berurusan dengan para pejabat public di sekolah-sekolah, para aparat pemerintah local, dan pencatatan-pencatatan, mereka juga mengungkapkan kompleksitas yang menyimpang dari konsep-konsep ini. Dalam bahasa aslinya, Ewick dan susan (dalam Cotterell, 2001:13-14) mengacu pada pendapat Anthony Giddens (sociology: A Brieft But Critical Intrduction, 1987) mengemukakan bahwa:
“we conceive of consciousness as part of reciprocal process in which the meanings given by individuals to their world, and law and legal institutions as part of that world, become repeated, patterned and stabilized, and those  institutionalized stuctures become part of the meaning systems employed by individuals…”.
Meskipun kesadaran hukum dapat muncul, menurut perspektif ini, merupakan kemunculan baru, bersifat kompleks dan bergerak tetapi juga harus diketahui bahwa kesadaran hukum mempunyai bentuk dan pola. Variasi-variasi yang memungkinkan dalam kesadaran hukum, dibatasi secara situasional dan organisasional. Ketimbang berbicara tentang makna sebagai suatu proses yang diindividualkan, kita menekankan bahwa di dalam setiap situasi atau lingkungan, hanya terdapat sejumlah terbatas, interpretasi-interpretasi yang tersedia untuk melekatkan makna kepada hal-hal dan peristiwa-peristiwa. Sama halnya, akses ked an pengalaman dengan situasi-situasi yang darinyalah interpretasi-interpretasi muncul dan tersedia secara berbeda. Dalam hal ini, perhatian kepada kesadaran, menekankan konstruksi kolektif dan penghalang-penghalang yang bekerja di dalam setiap lingkungan atau komunitas dan juga kerja subjek dalam membuat interpretasi-interpretasi dan melekatkan makna-makna.  

III. Ketaatan Hukum
Dalam berbagai literatur diuraikan bahwa ternyata seseorang menaati hukum alias tidak melanggar hukum, selain akibat faktor jera atau takut setelah menyaksikan atau mempertimbangkan kemungkinan sanksi yang diganjarkan terhadap dirinya jika ia tidak menaati hukum, maka juga bisa saja seseorang menaati hukum, karena adanya tekanan individu lain atau tekanankelompok. Jika suatu kelompok anutan menentang keras suatu tindakan yang melanggar hukum, maka akan dapat mencegah seseorang individu memutuskan untuk menaati suatu aturan hukum karena alasan moral personalnya. Sebaliknya, seorang individu lainnya, dapat memutuskan tidak menaati suatu aturan hukum, juga karena alasan moral.
Ketaatan hukum sendiri, masih dapat dibedakan kualitasnya dalam tiga jenis, seperti yang dikemukakan oleh H. C. Kelman (1966:140-148, maupun L. Pospisil (1971)[9]:
a.         Compliance, yaitu: an overt acceptance induced by expectation of rewards and an attempt to avoid possible punishment-not by any conviction in the desirability of the enforced rule. Power of the influencing agent is based on “means-control” and as a consequence, the influenced person conforms only under surveillance.
b.         Identification, yaitu: an acceptance of a rule not because of its instrinsic value and appeal but because of a person’s desire to maintain membership in a group or relationship with the agent. The source of power is the attractiveness of the relation which the person enjoy with the group or agent, and his conformity with the rule will dependent upon the salience of these relationships.
c.          Internalization, yaitu: the acceptance by an individual of a rule or behavior because he finds its content intrinsically rewarding…the content is congruent with a person’s values either because it has been so from the start of the influence or because his values changed and adapted to inevitable.
Di dalam realitasnya, berdasarkan konsep H.C Kelman tersebut, seseorang dapat menaati suatu aturan hukum hanya karena ketaatan salah satu jenis saja, misalnya hanya taat karena compliance, dan tidak karena identification atau internalization. Tetapi juga dapat terjadi, seseorang menaati suatu aturan hukum, berdasarkan dua jenis atau bahkan tiga jenis ketaatan sekaligus. Selain karena aturan hukum itu memang cocok dengan nilai-nilai intrinsic yang dianutnya, juga sekaligus ia dapat menghindari sanksi dan memburuknya hubungan baiknya dengan pihak lain.
L. Pospisil (1971), menjelaskan lebih lanjut tentang ketaatan yang bersifat internalization:
“internalization of a rule of behavior does not necessarily mean that such a rule is always maintained in actual behavior. There are situations in which the individual either breaks the rule in the spur of the moment. Without much thinking, or he consciously compromises a moral conviction for an immediate, and strong enough reward”.
Achmad Ali menyatakan bahwa dengan mengetahui adanya tiga jenis ketaatan tersebut, maka tidak dapat sekedar menggunakan ukuran ditaatinya suatu aturan hukum atau perundang-undangan sebagai bukti efektinya aturan tersebut, tetapi paling tidaknya juga harus ada perbedaan kualitas efeketifitasnya. Semakin banyak warga masyarakat yang menaati suatu aturan hukum atau perundang-undangan hanya dengan ketaatan yang bersifat “compliance” atau “identification” saja, berarti kualitas efektifitasnya masih rendah; sebaliknya semakin banyak ketaatannya “internalization”, maka semakin tinggi kualitas efektifitas aturan hukum atau perundang-undangan itu.[10] 
Lebih lanjut Achmad Ali[11] menambahkan jenis ketaatan hukum, yang disebutnya sebagai teori ketaatan hukum karena kepentingan. Menurut Achmad Ali, apabila direnungkan baik-baik, ternyata jika seseorang disodori dengan keharusan untuk memilih, maka seseorang akan menaati aturan hukum dan perundang-undangan, hanya jika dalam sudut pandangnya, keuntungan-keuntungan dari suatu ketaatan, ternyata melebihi biaya-biayanya (pengorbanan yang harus dikeluarkannya). Diakui oleh Achmad Ali bahwa pandangannya ini dipengaruhi oleh pandangan mazhab hukum ekonomi, yang memandang berbagai faktor ekonomi sangat memengaruhi ketaatan seseorang, termasuk di dalamnya, keputusan seseorang yang bertalian dengan faktor “biaya” atau “pengorbanan”, serta “keuntungan” jika ia menaati hukum; juga faktor yang turut menentukan taat atau tidaknya seseorang terhadap hukum, sangat ditentukan oleh asumsi-asumsinya, persepsi-persepsinya serta berbagai faktor subjektif lain, demikian juga proses-proses yang dengannya seseorang ia memutuskan apakah ia akan menaati suatu aturan hukum atau tidak. Dalam kaitannya ini, seyogyanya pembuat perundang-undangan, harus peka untuk berupaya dapat melakukan prediksi yang akurat, tentang bagaimana orang-orang yang kelak akan menjadi target peraturan yang dibuatnya, akan bereaksi terhadap peraturan tersebut, dan olehnya itu, pembuat undang-undang harus secara optimal memiliki kemampuan menentukan dan mempertimbangkan faktor-faktor yang ikut membentuk pilihan orang-orang yang akan menjadi sasaran perundang-undangan itu.
Dalam memberi bobot terhadap keuntungan yang akan diperoleh atau sebaliknya kerugian yang akan diderita, jika menaati atau tidak menaati aturan hukum, harus memasukkan sebagai “kegiatan resmi” (official activity) sebagai perhitungannya, di mana seseorang tentu memperhitungkan juga “action resmi”, bukan secara de jure, melainkan secara de facto. Saya dapat memberikan suatu missal, apakah saya akan menggugat pihak debitor di pengadilan karena dia tidak membayar utangnya kepada saya selaku kreditor, atau saya hanya menggunakan jasa “debt collector” alias “penagih hutang” saja, tergantung dari pertimbangan saya tentang untung ruginya jika saya menggugat ke pengadilan atau menggunakan debt collector. Demikian juga missal lain, apakah seseorang akan melanggar lampu merah di “traffic light” atau tidak, tergantung pada penilaian orang itu terhadap kemungkinan penangkapan, tilang “di tempat” (tilang illegal), atau tilang resmi jika kasus itu berlanjut ke pengadilan; dan bukannya tergantung pada sanksi-sanksi yang tercantum di atas kertas undang-undang. Kalkulasi-kalkulasi seseorang yang harus menentukan pilihan untuk taat atau tidak taat, sering menciptakan hasil yang aneh-aneh.[12]     
Demikian juga, kapan suatu norma informal (moral, agama, adat, kebiasaan, etika) bertentangan dengan aturan hukum formal yang resmi, maka di sana senenatiasa akan timbul perhitungan kepentigan, dalam hal ini, mungkin “kepentingan ekonomis”, melainkan kepentingan “kepuasan batin”. Oleh karena jika norma informal bertentangan dengan aturan hukum resmi, maka seseorang tetap akan dipersalahkan, apakah karena melanggar norma informal atau karena melanggar aturan hukum resmi atau formal. Lagi-lagi faktor kepentingan yang akan menentukan. Bagaimanapun harus dipahami, bahwa seseorang dengan standar-standar subjektifnya senantiasa mengalkulasi perilakunya sendiri, mana yang akan mengeluarkan biaya (pengorbanan) yang lebih besar dan mana yang akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar begitu juga sebaliknya. Realitas ini menunjukkan bahwa persoalan “konflik peran” sangat menentukan dalam pilihan untuk menaati atau tidak menaati suatu aturan hukum. Konflik-konflik peran senantiasa menghasilkan manifestasi-manifestasi yang mencolok.
Juga harus disadari bahwa persepsi warga masyarakat menjadi sasaran diberlakukannya suatu perundang-undangan, tidak selalu sama dengan persepsi pembauat undang-undang. Untuk itulah, pembuat undang-undang, sedapat mungkin memerhatikan nilai-nilai yang hidup serta kepentingan warga masyarakat, ketika  merumuskan perundang-undangannya. Dan setelah itu pun dibutuhkan sosialisasi hukum kepada masyarakat.
Sebagai tambahan, diakhir ini, kami akan menguraikan tentang beberapa faktor yang memengaruhi ketaatan terhadap hukum secara umum sebagaimana disebutkan oleh C. G. Howard & R. S Mumners dalam Law: Its Nature And Limits, 1965: 46-47, yaitu[13]:
a.       Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu. Oleh karena itu, jika aturan hukum yang dimaksud berbentuk undang-undang, maka pembuat undang-undang dituntut untuk mampu memahami kebutuhan hukum dari target pemberlakuan undang-undang tersebut.
b.      Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum. Jadi, perumusan substansi aturan hukum itu, harus dirancang dengan baik, jika aturannya tertulis, harus ditulis dengan jelas dan mampu dipahami secara pasti. Meskipun nantinya tetap membutuhkan interpretasi dari penegak hukum yang akan menerapkannya.
c.       Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu. Kita tidak boleh meyakini fiksi hukum yang menentukan bahwa semua penduduk yang ada dalam wilayah suatu Negara, dianggap mengetahui seluruh aturan hukum yang berlaku di negaranya. Tidak mungkin penduduk atau warga Negara masyarakat secara umum, mampu mengetahui keberadaan suatu aturan hukum dan substansinya, jika aturan hukum tersebut tidak disosialisasikan secara optimal.
d.      Jika hukum yang dimaksud adalah peundang-undangan, maka seyogyanya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang (prohibitur) lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang yang bersifat mengharuskan (mandatur).
e.       Sanksi yang diancamkan oleh aturan hukum itu, harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut. suatu sanksi yang dapat kita katakana tepat untuk suatu tujuan tertentu, belum tentu tepat untuk tujuan lain.
f.       Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan. Sebagai contoh, sanksi denda yang diancamkan oleh Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya yang berlaku di Indonesia saat ini, terlalu berat jika dibandingkan penghasilan orang Indonesia. Sanksi denda jutaan rupiah untuk pengemudi kendaraan umum yang tidak memiliki ikat pinggang pengaman atau pemadam kebakaran, terlalu berat untuk mampu dilaksanakan oleh mereka. Sebalaiknya, sanksi yang terlalu ringan untuk suatu jenis kejahatan tentunya akan berakibat, warga masyarakat tidak akan segan untuk melakukan kejahatan tersebut.
g.      Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut, adalah memang memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan penghukuman). Membuat suatu aturan hukum yang mengancamkan sanksi terhadap tindakan-tindakan yang bersifat gaib atau mistik, adalah mustahil untuk efektif, karena mustahil untuk ditegakkan melalui proses hukum. Mengancamkan sanksi bagi perbuatan yang sering dikenal sebagai “sihir” atau “tenung”, adalah mustahil untuk efektif dan dibuktikan.
h.      Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, realtif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut. Aturan hukum yang sangat efektif, adalah aturan hukum yang melarang dan mengancamkan sanksi bagi tindakan hukum yang juga dilarang dan diancamkan sanksi oleh norma lain, seperti norma moral, norma agama, norma adat istiadat atau kebiasaan, dan lainnya. Aturan hukum yang tidak diatur dan dilarang oleh norma lain, akan lebih tidak efektif.
i.        Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal dan professional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan berlakunya sturan hukum tersebut; mulai dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran hukum, interpretasi dan konstruksi) dan penerapannya terhadap suatu kasus konkret.
j.        Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya pada struktur hidup sosio-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat. Dan sebelumnya, ketertiban umum sedikit atau banyak, harus telah terjaga, karena tidak mungkin efektifitas hukum akan terwujud secara optimal jika masyarakat dalam keadaan cheos atau situasi perang dahsyat. 




IV. Kesimpulan
1.      Kesadaran hukum itu ada 2 (dua), yaitu:
(a)    Legal consciousness as within the law, kesadaran hukum sebagai ketaatan hukum, berada dalam hukum, sesuai dengan aturan hukum yang disadarinya atau dipahaminya.
(b)   Legal consciousness as against the law, kesadaran hukum dalam wujud menentang hukum atau melanggar hukum. 
2.      Ketaatan hukum itu kesadaran hukum yang positif sedangkan kesadaran hokum yang negatif itu adalah ketidaktaatan hokum.



[1] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 298
[2] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, Hidup Baik Adalah Dasar Hukum Yang Baik, (Jakarta: Kompas, 2009), hlm. 29
[3] Achmad Ali, Op. Cit, hlm. 510
[4] Ibid, hlm. 299
[5] Ibid, hlm. 299
[6] Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1982), hlm. 140.
[7] Sudikno Mertokusumo, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, Makalah ini adalah Kertas kerja dalam rangka kerja sama Kampanye Penegakan Hukum antara Fakultas Hukum UGM dengan Kejaksaan Agung RI tahun 1978. Dikutip dari http://sudiknoartikel.blogspot.com
[8] Selo Sumarjan, Perkembangan Politik Sebagai Penggerak Dinamika Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1965), hlm. 26.
[9] Achmad Ali, Op. Cit, hlm. 347-348
[10] Ibid, hlm. 349
[11] Ibid, hlm. 350
[12] Ibid, hlm. 350-351
[13] Ibid, hlm. 376-78