POSITIVISME HUKUM
ANALITIS
I.
Pengertian
Positivisme
Positivisme
sebagai metode filsafat, dikenal juga sebagai paham empiris (empiricism)[1], August Comte (1798-8157), seorang
Matematikawan dan Filosof Perancis dapat dianggap sebagai pendiri filsafat
positivisme modern. Dia membedakan tiga tahapan dalam pemikiran manusia. Tahap
pertama adalah tahapan teologis, di mana seluruh phenomena dijelaskan dengan
mengacu pada sebab-sebab yang bersifat gaib dan intervensi dari Tuhan. Tahap
kedua adalah tahap metafisika, di mana pikiran memiliki jalan lain untuk
mencapai prinsip-prinsip dan ide-ide pokok yang dipahami sebagai ada di bawah
permukaan sesuatu dan merupakan kekuatan penggerak yang nyata dalam evolusi
manusia. Tahap ketiga dan terakhir adalah tahap positivistik, yang menolak
semua konstruksi hipotetis dalam filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan dan
membatasi diri pada pengamatan empiris dan koneksi fakta di bawah bimbingan
metode yang digunakan dalam ilmu alam[2].
Pemikiran
Auguste Comte yang dikenal sebagai “hukum tiga tahap” ini, yang menggolongkan positivisme
sebagai bagian terakhir dalam tahap perkembangan pemikiran manusia adalah
terbuka terhadap keberatan-kebaratan yang penting. Bagaimanapun, Pemikiran ini menyediakan tujuan yang
bermanfaat dalam menggambarkan pergerakan dan petunjuk umum Filsafat Barat dari
awal abad pertengahan ke awal abad kedua puluh. Sepanjang yang menyangkut
filsafat hukum, kita telah melihat bahwa penafsiran hukum selama abad pertengahan
sangat dipengaruhi oleh pertimbangan teologis: hukum dibawa ke dalam hubungan
dekat dengan wahyu ilahi dan kehendak Tuhan. Periode dari Renaissance ke
sekitar pertengahan abad kesembilan belas, dapat digambarkan sebagai era
metafisika dalam filsafat hukum. Doktrin hukum alam klasik begitupun evolusi filsafat
hukum yang dianjurkan oleh Savigny, Hegel, Marx digolongkan dengan unsur-unsur
metafisik tertentu. Teori-teori ini berusaha untuk menjelaskan sifat hukum
dengan mengacu pada ide-ide tertentu atau prinsip-prinsip pokok, yang dipahami
sebagai bekerja di bawah permukaan sesuatu. Tidak ada di antara, alasan abadi
filiosof hukum alam atau “semangat nasional” dan “kekuatan operasi diam-diam”
milik Savigny membentuk hukum atau “spirit dunia” milik Hegel yang menangani
suluh evolusi dari satu Negara ke Negara yang lain maupun "lenyapnya hukum dalam masyarakat
komunis, yang dapat dinilai dan diukur dalam terminilogi dunia empiris. Semua konstruksi
ini adalah "metafisik" dalam arti luas, sejauh mereka mereka
melampaui penampilan fisik sesuatu dan hal-hal yang bertolak dari asumsi
kekuatan tak terlihat dan sebab utama yang harus dicari di balik fakta-fakta
pengamatan langsung[3].
Di
pertengahan abad kesembilan belas timbul sebuah gerakan balasan yang kuat
terhadap kecenderungan metafisis pada abad sebelumnya. Gerakan ini dapat
digambarkan dengan bebas tetapi istilah yang luas dari positivisme. Positivisme,
sebagai sikap ilmiah menolak spekulasi apriori dan berusaha untuk membatasi
diri pada data pengalaman. Positivisme menolak semangat luhur yang tinggi dan
membatasi tugas ilmu pengetahuan kepada analisis "diberikan." Posistivisme
menolak untuk melampaui fenomena persepsi dan menyangkal kemungkinan pemahaman
alam dalam ‘esensi’. Pemikiran dasar positivisme telah disiapkan oleh
keberhasilan besar yang dicapai dalam domain ilmu-ilmu alam pada paruh pertama
abad kesembilan belas . Keberhasilan ini menimbulkan godaan yang kuat untuk
menerapkan metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam ke bidang ilmu-ilmu
sosial. Pengamatan yang hati terhadap fakta empiris dan data panca indra adalah
salah satu metode prinsip yang digunakan dalam ilmu pengetahuan alam. Diharapkan
bahwa dalam ilmu pengetahuan sosial metode yang sama akan terbukti sangat
bermanfaat dan berharga[4].
Dimulai
dengan paruh kedua abad kesembilan belas, positivisme menyerbu semua cabang
ilmu-ilmu pengetahuan sosial, termasuk ilmu pengetahuan hukum. Positivisme
hukum dengan teori positivistik pada umumnya berbagi keenganan kepada spekulasi
metafisik dan untuk mencari prinsip-prinsip pokok. Positivisme menolak setiap
upaya oleh para sarjana yurisprudensi untuk melihat dan mengartikulasikan ide
hukum melampaui realitas empiris sistem hukum yang ada. Positivisme hukum Ini
berusaha untuk mengecualikan pertimbangan nilai dari ilmu pengetahuan hukum dan
untuk membatasi tugas ilmu ini untuk analisis dan pembedahan peraturan hukum
positif. Para positivis hukum berpendapat bahwa hukum itu hanyalah hukum
positif, yang dimaksudkan sebagai hukum positif adalah norma-norma yuridis yang
telah ditetapkan oleh otoritas negara. Dalam kata-kata dari Hungaria ahli hukum
Julius Moor, ‘positivisme hukum’ adalah sebuah pandangan yang menurutnya hukum itu
dihasilkan oleh kekuatan penguasa dalam masyarakat dalam proses sejarah. Dalam
pandangan ini satu-satunya hukum adalah yang merupakan perintah kekuatan yang
berkuasa dan apa pun yang telah diperintahkan adalah hukum." Para
positivist hukum juga bersikeras pada pemisahan ketat hukum positif dari etika
dan kebijakan sosial, dan dia cenderung untuk mengidentifikasi keadilan dengan
legalitas, yaitu ketaatan terhadap aturan yang ditetapkan oleh negara.[5]
W.
Friedmann menyatakan bahwa seperti halnya penekanan atas
kecenderungan-kecenderungan dalam filsafat teoritis yang bergeser dari metafisi
ke empiris, sesuai dengan pergeseran spekulasi oleh gejala yang diamati dan
penafsirannya dalam alam, begitu pula tumbuhnya porsitivisme analitis dalam
ilmu hukum pergeseran tatanan duniawi yang tersusun tidak erat atau tatan
gerejani internasional oleh Negara nasional modern. Munculnya Negara modern
sebagai tempat penyimpanan yang kian lama kian khusus dari kekuasaan politik
dan hukum, tidak hanya menimbulkan kelas professional, dari pegawai-pegawai
sipil, para cendekiawan dan lain-lain, yang secara bertahap lebih memberikan
loyalitas dan bakatnya kepada Negara nasional modern daripada kepada gereja
internasional atau kaisar yang jauh dan tidak berdaya; yang lebih menuntut
pengorganisasian sistem hukum, susunan hirarkis dari kekuasaan yang sah, dan
disusunnya bahkan hukum yang terus meningkat jumlahnya ke dalam suatu sistem[6].
Lebih
lanjut, W. Friedmann menyatakan bahwa Hart membedakan lima arti dari
posistivisme seperti yang banyak disebut dalam ilmu hukum kontemporer, yaitu:
(1) anggapan bahwa undang-undang adalah perintah-perintah manusia, (2) anggapan
bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral atau hukum yang ada dn
yang seharusnya ada, (3) anggapan bahwa analisa (atau studi tentang arti) dari
konsepsi-konsepsi hukum: (a) layak dilanjutkan, dan (b) harus dibedakan dari
peelitian-penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial
lainnya, dan kritik atau penghargaan hukum apakah dalam arti moral,
tuntutan-tuntutan sosial, fungsi-fungsinya, atau sebalaiknya, (4) anggapan
bahwa sistem hukum adalah suatu “sistem logis tertutup” di mana putusan-putusan
hukum yang tepat dapat dihasilkan dengan cara-cara yang logis dari
peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan lebih dahulu tanpa mengingat
tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan, norma-norma moral, dan (5) anggapan
bahwa penelitian-penelitian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan, seperti
halnya dengan pernyataan-pernyataan tentang fakta, dengan alasan yang rasional,
petunjuk, atau bukti (non-cognitivisme
dalam etika). Yang disebut paling akhir dari semua ini tidak dianggap unik bagi
posistivisme analitis. Hal tersebut dibagi oleh gerakan ‘relativistik’ dalam
ilmu hukum yang kadang meskipun secara keliru diidentifikasi dengan
posistivisme. Dari empat lainnya, anggapan bahwa sistem hukum adalah “sistem
logis yang tertutup” dekat hubungannya dengan dalil yang lebih umum tentang
pemisahan yang tepat antara apa yang ada dan yang seharusnya ada. Yang terkena
penyederhaan ini, perbedaan-perbedaan antara aspek-aspek yang bermacam-macam
dari positivism analitis adapat dinilai dan penting.[7]
Pada
prinsipnya pemisahan hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada, adalah
asumsi filosofis yang paling fundamental dari posistivisme hukum. Pemisahan ini
merupakan pancaran dari hukum alam yang lebih tinggi, maupun dari peleburan
filsafat hukum dan ilmu pengetahuan hukum sebagaimana yang paling penting
disajikan dalam sistem Hegel, pemisahan ‘yang ada’ dari ‘yang seharusnya ada’ sama sekali tidak
meremehkan pentingnya nilai-nilai dalam hukum, sebagaimana dengan jelas dalam
karya Austin, Kelsen dan yang lainnya. Pemisahan itu menepatkan keduanya dalam
bidang-bidang yang benar-benar berbeda[8].
Suri
Ratnapala, menyatakan bahwa positivisme hukum mengandung kemiripan dengan
positivisme logis (logical positivism),
tetapi berbeda dalam dalam beberapa cara. Positivism hukum bertujuan untuk
mengidentifikasi hukum ‘yang ada’. Ini tampaknya mudah tapi tidak. Pertama ada
pertanyaan, apa yang kita maksud dengan hukum? Kata “law” (atau bahasa yang
sepadan) memiliki banyak arti. Kita dapat secara langsung menolak pengertian
‘law’ yang digunakan oleh scientist alam –seperti second law of thermodynamics
or Newton’s three laws of motion. Hukum yang ilmiah adalah teori-teori tentang
dunia alam –kenapa sesuatu terjadi, cara yang merka lakukan. Hukum yang menjadi
perhatian kita adalah sangat berbeda jenisnya, yaitu, hukum yang memberitahu
masyarakat apa yang mereka boleh lakukan, harus lakukan, atau harus tidak
dilakukan. Kita menyebut hukum ini ‘hukum normatif’[9].
Ada
beberapa tipe hukum normatif. Termasuk di dalamnya hukum agama, hukum moral, hukum
adat dan hukum etik. Positivism hukum mengajukan teori-teori tentang bagaimana
kita dapat membedakan hukum dalam pengertian legal dari hukum dalam pengertian
non-legal. Teori-teori ini umumnya menghubungkan alat-alat hukum hanya kepada
peraturan-peraturan yang diperoleh dari hukum yang membuat otoritas eksis
sebagai kenyataan politik dan sosial. Sebuah aturan secara universal dapat
diamati di dalam masyarakat tapi tidak akan dianggap sebagai hukum dalam
buku-buku posistivisme kecuali hukum itu dibuat atau diakui oleh otoritas yang
berkuasa. Hart adalah pengecualian di antara legal positivist. Dia berpendapat
tidak ada alasan menolak nama “law” kepada aturan-aturan adat yang dijalankan
oleh masyarakat primitive yang tidak mempunyai ‘pembuat undang-undang
(legislatures) atau pengadilan atau otoritas lainnya. Dia menyebut
aturan-aturan ini kewajiban peraturan primer. Demikian juga, Hart menganggap hukum
internasional sebagai ‘law’, walaupun masyarakat internasional tidak mempunyai
badan untuk membuat hukum dan kapasitas untuk menegakkan hukum yang kita
harapkan pada sistem hukum nasional (1997, Ch. X). dia membuat pengematan yang
jelas bahwa sistem hukum nasional yang dikembangkan umumnya memperlihatkan
sekumpulan peraturan sekunder yang mengatur pengakuan kewajiban peraturan
primer, perubahan-perubahan, penerapan-penerapannya (1997, Ch. X). Peraturan
sekunder ini memberikan kewenangan/kekuasaan kepada badan tertentu untuk
membuat, mengumumkan atau merubah hukum, dan mendefinisikan kekuasaan mereka
dan prosedur-prosedur. Di dalam sistem common law, peraturan sekunder
mendefinisikan kekuasaan pembuatan hukum legislature dan memberi kepada
pengadilan kekuasaan untuk menafsirkan dan mengumumkan hukum yang relevan dalam
kasus tertentu yang datang ke hadapan mereka. Peraturan sekunder dapaat
ditemukan dalam konstitusi tertulis atau mungkin eksis, seperti di UK, dalam
bentuk kebiasaan.
II.
Tokoh
Positivisme dan Pemikirannya
A.
John
Austin and Ajaran Hukum Analitis
Pada tahun 1832, 50 tahun setelah
disempurnakannya Of Laws in General
milik Bentham, John Austin mempublikasikan The
Province of Jurisprudence Determined. Pada tahun 1819 Austin bersama
keluarganya pindah ke London dari Suffolk dan bertetangga dengan Bentham dan
James Mill, pelopor paham utilitarian. Dia menjadi teman dekat Bentham, yang
pemikirannya mempertajam Jurisprudence Austin. Province of Jurisprudence berisi sepuluh pertama serial ceramah
tentang Jurisprudence yang Austin sampaikan di Universitas London dari 1829
sampai 1833. Ceramah-ceramah tersebut tidak popular dan harus dihentikan karena
sepinya pengunjung. Walaupun, versi yang dipublikasikan, menjadi teks
jurisprudence berbahasa Inggris yang yang paling berpengaruh lebih dari 100
tahun[10].
Karya John Austin tetap merupakan
usaha yang paling lengkap dan penting untuk merumuskan suatu sitem positivisme hukum
analitis dalam hubungannya dengan negara modern. Sumbangan Austin yang paling
penting bagi teori hukum adalah digantinya perintah yang berdaulat ‘yakni
negara’ bagi tiap cita keadilan dalam definisi hukum. Austin mendefinisikan hukum
sebagai[11]:
“peraturan yang
diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal yang berkuasa
atasnya”.
Jadi hukum sepenuhnya dipisahkan
dari keadilan dan, didasarkan tidak atas gagasan-gagasan tentang yang baik dan
buruk, yang didasarkan atas kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam hal ini Austin sama
dengan Hobbes dan para teoritisi kedaulatan lainnya; tetapi terserah Austin
untuk memasukkan konsepsi ini ke dalam cabang-cabang sistem-sistem hukum modern[12].
Hukum pertama-tama dibagi dalam hukum
yang diadakan oleh Tuhan untuk manusia (hukum Tuhan), dan undang-undang yang
diadakan oleh manusia untuk manusia (hukum manusia). Dalam sistem Austin,
kelompok undang-undang yang disebut duluan (hukum Tuhan) tidak memiliki arti
yuridis, dibanding misalnya dengan ajaran Skolastik yang mengadakan hubungan
organis antara hukum Tuhan dan hukum manusia. Dalam sistem positivismenya
Austin, yang menolak menggabungkan hukum dengan kebaikan dan keburukan, hukum
tampaknya tidak mempunyai fungsi lain daripada wadah-wadah kepercayaan
utilitarian Austin. Prinsip kegunaan adalah hukum Tuhan. Pernyataan Bentham
tentang kepercayaan ini sama sekali tidak mempengaruhi prinsip--prinsip pokok
ajaran Austin[13].
Hukum manusia dapat dibagi ke dalam
undang-undang yang disebut hukum sebenarnya (hukum positif) dan undang-undang yang
disebut hukum yang tidak sebenarnya. hukum sebenarnya (hukum positif) adalah
undang-undang yang diadakan oleh kekuasaan politik (apakah yang tertinggi atau
bawahan) untuk orang-orang politis yang merupakan bawahannya (seperti
undang-undang dan undang-undang khusus), atau peraturan-peraturan yang diadakan
oleh orang-orang, sebagai pribadi, berdasarkan hak-hak yang sah yang diberikan
kepadanya. Sebagai contoh, Austin memberikan hak-hak kepada wali atas orang
yang ada di bawah perwaliannya. Tetapi karena kekuatan hukum dari hak-hak
semacam itu atas wali, maka jelas bahwa tiap hak pribadi yang dapat digunakan
harus termasuk dalam kategori ini. Undang-undang yang ‘tidak sebenarnya’ adalah
yang tidak diadakan –langsung atau tidak langsung- oleh kekuasaan politik.
Dalam kategori ini ada beberapa macam peraturan yang berbeda: peraturan klab,
undang-undang tentang mode; dalil-dalil tentang ilmu alam, peraturan-peraturan
dari yang disebut hukum internasional. Semua ini oleh Austin diberi nama
‘moralitas positif’. Jadi menggambarkan baik dekatnya maupun perbedaannya
dengan hukum positif.[14]
Austin beranggapan bahwa hukum ‘yang
sebenarnya’ mengandung 4 unsur, yaitu perintah, sanksi, kewajiban dan
kedaulatan. Hukum merupakan hasil dari perintah-perintah yang artinya adalah
bahwa ada satu pihak yang menghendaki supaya pihak lain melakukan sesuatu, atau
tidak melakukan sesuatu. Kemudian pihak yang diperintah akan mengalami
penderitaan apabila perintah tersebut tidak dijalankan, dan penderitaan
tersebut merupakan sanksi. Selanjutnya, suatu perintah diduga merupakan
pembebanan kewajiban kepada pihak lain, hal mana terlaksana apabila yang
memberi perintah adalah pihak yang memegang kedaulatan. Ajaran-ajaran Austin sama
sekali tidak menyangkut kebaikan-kebaikan atau keburukan-keburukan hukum, oleh
karena penilaian tersebut dianggapnya sebagai persoalan yang berbeda di luar
bidang hukum. Walaupun Austin mengakui adanya hukum moral atau hukum alam yang
mempengaruhi warga-warga masyarakat, akan tetapi secara yuridis tidak penting
bagi hukum[15].
Karakteristik yang paling penting
dari hukum positif, menurut doktrin Austinian, terdapat dalam karakter perintahnya. Hukum dipahami sebagai
perintah dari penguasa. ‘Setiap hukum positif disusun oleh penguasa yang
ditunjuk kepada seseorang atau orang-orang dalam keadaan tunduk kepada
penulisnya." Tidak setiap perintah dianggap hukum oleh Austin. Hanya
perintah-perintah umum, yang mengharuskan seseorang atau beberapa orang untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu, pantas mendapatkan atribut hukum[16].
Ilmu pengetahuan hukum berkenaan
dengan undang-undang positif atau undang-undang disebut tepat, kalau
dipertimbangkan tanpa memandang kebaikan dan keburukannya. Setiap hukum positif
dihasilkan dari pembentuk hukum,, yang ditentukan secara tegas sebagai yang
berdaulat. Semua hukum positif atau tiap hukum yang disebut tepat, dibentuk
oleh yang berkuasa atau badan yang berwenang untuk anggota atau anggota-anggota
masyarakat politik yang bebas, dalam mana orang atau badan itu berwenang atau
yang tertinggi.[17]
Kedaulatan menurut Austin adalah:
“kalau seseorang yang berkuasa, yang tidak biasa tunduk pada seseorang berkuasa
yang sama, dipatuhi oleh sebagian besar dari masyarakat tertentu, yang
menetapkan bahwa yang berkuasa adalah yang berdaulat pada masyarakat itu, dan
masyarakat (termasuk yang berkuasa) merupakan masyarakat politik yang bebas”[18].
Lebih lanjut Austin menjelaskan
bahwa penguasa itu bisa individu, atau badan atau kumpulan individu-individu[19].
B.
Hans
Kelsen dan Teori Hukum Murni
Tujuan Hans Kelsen (1881-1973)
adalah untuk memurnikan ilmu pengetahuan hukum dari kriteria evaluative dan
elemen-elemen ideologis. Keadilan, sebagai contoh, dipandang oleh Kelsen
sebagai konsep ideologis. Keadilan baginya adalah "cita-cita yang tidak
masuk akal" yang mewakili kegemaran subjektif dan pilihan nilai seorang
individu atau kelompok. Penegasan biasa, tulisnya, "bahwa memang ada hal
seperti keadilan, tetapi itu tidak bisa didefinisikan dengan jelas, keadilan
sendiri adalah sebuah kontradiksi. Bagaimanapun, keadilan sangat diperlukan
untuk kemauan dan tindakan manusia,
keadilan tidak tunduk pada pengertian. Dipandang dari pandangan pengertian
rasional, hanya kepentingan dan karenanya konflik kepentingan. Teori hukum yang
dipertahankan Kelsen, tidak dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang
merupakan keadilan karena pertanyaan ini tidak bisa dijawab secara ilmiah sama
sekali. Jika keadilan diberikan tanda makna yang bersifat ilmiah, maka harus
diidentifikasi dengan legalitas. Menurut Kelsen, sesuatu itu ‘adil’ untuk
aturan umum yang betul-betul diterapkan dalam semua kasus di mana menurut
isinya, aturan ini harus diterapkan . "Keadilan berarti pemeliharaan peraturan
positif oleh penerapan hukum yang bersungguh-sungguh.[20]
Tujuan metodologis Kelsen tidak
berhenti pada penghapusan pertimbangan nilai politik dan ideologi dari ilmu
pengetahuan hukum. Dia ingin melangkah lebih jauh dengan menjaga teori hukum
bebas dari segala yang tidak ada hubungannya, faktor non hukum. "secara tidak
kritis," katanya, "ilmu hukum telah dicampur dengan unsur psikologi,
sosiologi, etika, dan teori politik." Dia berusaha untuk mengembalikan
kemurnian hukum dengan mengisolasi komponen-komponen dari pekerjaan seorang pengacara
atau hakim yang dapat diidentifikasi sebagai hukum[21].
Dasar-dasar esensial dari sistem
Kelsen dapat disebut sebagai berikut[22]:
(1) Tujuan
teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan
dan kemajemukan menjadi kesatuan.
(2) Teori
hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku bukan mengenai hukum
yang seharusnya.
(3) Hukum
adalah ilmu pengetahuan normative, bukan ilmu alam.
(4) Teori
hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya
kerja norma-norma hukum.
(5) Teori
hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara
yang khusus.
(6) Hubungan
antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum posistif ialah hubungan apa
yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Dari
dalil-dalil ini termasuk mudah untuk mengikuti hal-hal yang pokok dari teori hukum
murni Kelsen. Dalam ketentuannya bahwa norma hukum berbeda dari norma moral,
Kelsen sependapat dengan ajaran pokok mazhab analitis.
Kebenaran norma hukum berasal dari
sumber eksternal dan ‘kaharusan’ yang khas dari hukum, yang dibedakan dari
norma moral, adalah sanksinya. Ancaman sanksi yang harus dikenakan kalau
sesuatu dilakukan atau tidak, merupakan ciri khas hubungan hukum. Sanksi
semacam ini harus dilaksanakan oleh yang berwenang sehingga merupakan persoalan
munculnya sumber norma-norma hukum. Ini adalah ajaran Austin, tetapi ada
perbedaan yang penting. Bagi Austin hukum adalah perintah, bagi Kelsen, paksaan
akan menempatkan unsur psikologis, yang asing bagi hukum. Norma hukum tidak
mengenal perintah, tetapi suatu hubungan antara keadaan dan akibat. Kalau orang
melakukan A, maka harus terjadi B. Hanya dalam arti ini hukum adalah suatu
‘yang seharusnya’. Jadi yang ada adalah hubungan subordinasi dan tiap sistem
harus tertentu menyusun hirarki norma-norma, yang masing-masing dari sumber
yang lebih tinggi. Akhirnya tiap norma hukum dalam suatu tatanan hukum tertentu
mendapat keabsahannya dari norma dasar yang paling tinggi (groundnorm). Norma dasar ini sendiri tidak dapat dideduksi
sehingga harus dianggap sebagai ‘hipotesa permulaan’. Bahwa parlemen yang
berdaulat di Inggris adalah suatu norma dasar, tidak lebih logis daripada bahwa
perintah Fuhrer adalah kewenangan hukum tertinggi bagi Nazi Jerman, atau bahwa
suku-suku pribumi tunduk pada tukang sihir.[23]
Kita sudah melihat bahwa arti dari hukum
oleh Kelsen telah direduksi pada sifat normatifnya. Dari sudut perspektif itu,
maka tata hukum dipandang sebagai suatu sistem kaidah-kaidah yang tersusun
secara hierarkikal, yang berlandaskan pada Grundnorm.
Grundnorm ini harus dipahami dari sudut pandang hipotetikal: jika kita
hendak memaparkan (mengerti) suatu tata hukum sebagai normative, maka kita
harus memandangnya sebagai suatu ‘stufenbau’.[24]
Tugas teori hukum adalah untuk
menjelaskan hubungan-hubungan antara norma-norma dasar dan semua norma di
bawahnya, tetapi tidak untuk mengatakan apakah norma dasar sendiri baik atau
buruk. Hal tersebut merupakan tugas ilmu politik atau etika atau agama.[25]
C.
Neo
- Analitic dan Linguistic Jurisprudence
Kecenderungan ini menjadi nyata
dalam karya eksponen paling berpengaruh dari gerakan baru, filosof hukum
Inggris Herbert LA Hart (b.1907). Ketegangan analitik yang nyata dalam
pemikiran Hart jelas terlihat dalam tesisnya bahwa kunci ilmu yurisprudensi
harus ditemukan dalam kombinasi dari dua kategori aturan, yang dia sebut primer
dan sekunder. Aturan primer adalah mode standar tingkah laku yang mewajibkan
anggota masyarakat untuk melakukan, atau menghindarkan diri untuk melakukan
beberapa jenis tindakan. Aturan-aturan ini muncul dari kebutuhan masyarakat dan
dirancang untuk menjamin cara memuaskan kehidupan. Akar kekuatan mengikat
aturan-aturan tersebut terletak pada diterimanya aturan-aturan oleh mayoritas,
dan tekanan yang kuat untuk memperhatikan mereka yang diberikan oleh mayoritas
kepada anggota masyarakat yang tidak kooperatif[26].
Menurut Hart, sistem hukum yang
dikembangkan juga harus memiliki satu set aturan "sekunder" yang
membentuk mesin resmi untuk pengakuan dan penegakan aturan primer.
Pertama-tama, mereka bermanfaat untuk mengidentifikasi ketentuan yang berlaku
dan hidup dari sistem dalam beberapa mode otoritatif . Kedua , mereka membuat
ketentuan untuk prosedur yang teratur dan formal yang dirancang untuk
memodifikasi aturan primer. Ketiga, mereka menjamin pelaksanaan aturan primer
dengan mengadakan perincian proses ajudikasi dan penegakan hukum[27].
Hal ini jelas bahwa pandangannya
tentang hukum menghindari pandangan sepihak perintah Austinian dan berusaha
untuk membangun jembatan antara konsepsi penting dan sosiologis hukum. Hart
juga berupaya untuk mengurangi konfrontasi tajam yang sering ditandai hubungan
antara positivis hukum dan percaya dalam hukum alam. Dia mengakui teori hukum
kodrat bahwa "ada aturan tertentu perilaku yang setiap organisasi sosial
harus berisi jika masih layak" dan bahwa aturan tersebut pada kenyataannya
merupakan unsur umum dalam hukum semua masyarakat . Dia telah , di sisi lain ,
sangat membela aksioma positivistik bahwa tugas " kesetiaan kepada
hukum" mencakup semua peraturan yang berlaku dengan uji formal sistem
hukum meskipun beberapa dari mereka mungkin tegas bertentangan dengan arti
moral masyarakat[28].
Profesor Hart juga telah
menundukkan konsep kedaulatan Austinian kepada sebuah pencarian kritik, telah menulis
secara luas tentang filsafat hukum pidana, dan terlibat dalam analisis mendalam
tentang metode hukum dan proses peradilan. Tulisan-tulisannya telah
menghasilkan komentar dan reaksi yang luas di seluruh lingkaran hukum Anglo-Amerika[29].
Peran bahasa dalam hukum ditekankan
di Inggris oleh Glanville Williams (lahir 1911) dan di Amerika Serikat oleh
Walter Probert (lahir 1925). Dies dari Williams, dalam studi semantic
hukumnyanya, telah menetap secara luas pada ambiguitas kata dan karakter yang
membuat emosi dari beberapa istilah hokum. William telah mengambil posisi bahwa
kebingungan yang besar telah ditimbulkan oleh penggunaan konsep hokum yang membawa
banyak arti yang berbeda, itu tidak dapat diterima untuk berbicara tentang "tepat"
arti dari sebuah kata, dan bahwa untuk meresapi nilai dalam istilah seperti
"keadilan," "salah”, atau "aturan hukum" melayani
emosional daripada fungsi rasional. Probert telah menekankan perlunya
"kata kesadaran" pada bagian dari pengacara , semenjak ia menganggap
bahasa “instrumen utama dalam kontrol sosial”. Norma dan aturan sudah menjadi
sifatnya ambigu, dia menegaskan, dan jantung dari proses common law di
pengadilan adalah bukan aturan (walaupun aturan-aturan terlibat di dalamnya)
tetapi retorika. Pandangan semantik hukumnya mengantarkan dia untuk
mendefinisikan keadilan sebagai "pencarian beberapa panduan lisan untuk
membantu dalam memilih di antara tempat bertanding.
Analitik modern dan ilmu hukum
semantik menerima banyak stimulasi dari karya Ludwig Wittgestein (1889-1951),
seorang filsuf kelahiran Austria yang kemudian mengajar di Universitas
Cambridge dan mampu mempengaruhi tren pemikiran filsafat secara meyakinkan di
lingkaran Anglo-Amerika. Dalam Tractatus
Logiconya Philosophicus-nya Wittgenstein melakukan analisis bahasa, sebuah keberanian
manusia berusaha yang dia gambarkan sebagai gambar dari fakta-fakta yang
merupakan realitas. Dia menyatakan bahwa semua filsafat adalah kritik terhadap
bahasa, itu tujuannya adalah klarifikasi logis dari pikiran dan hal itu sangat
penting untuk menguraikan arti dari kalimat dan preposisi yang rumit dengan melarutkan
mereka ke dalam unsur pokok dasarnya. Wittgenstein menolak gagasan bahwa itu
adalah tugas filosuf untuk mengajukan penjelasan tentang cara kerja alam
semesta, atau untuk menyarankan individu atau masyarakat bagaimana melakukan
urusan mereka. Dia tidak menyangkal bahwa manusia dihadapkan dengan
pertanyaan-pertanyaan dari etika dan nilai , tetapi dia menganggap bahwa
pertanyaan seperti itu berada di bidang mistik, di mana proposisi yang bermakna tidak bisa
diungkapkan[30].
[1] Suri Ratnapala, Jurisprudence, (New York: Cambridge
University Press, 2009), hlm. 22
[2] Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, The Philosophy And Method Of
The Law, (New Delhi: Universal Book Traders, 1996), hlm. 91
[3] Ibid, hlm. 91-92
[4] Ibid, hlm. 92-93
[5] Ibid, hlm. 94-95
[6] W. Firedmann, Teori & Filsafat Hukum, Telaah Kritis
Atas Teori-Teori Hukum (Sususnan I, II, III), diterjemahkan oleh
Mohamad Arifin (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm. 147
[7] Ibid, hlm. 147-148
[8] Ibid, hlm. 148
[9] Suri Ratnapala, Op. Cit. hlm. 25
[10] Ibid, hlm. 36
[11] W. Firedmann, Op. Cit, hlm. 149
[12] Ibid, hlm. 149
[13] Ibid, hlm. 149
[14] Ibid, hlm. 150
[15] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,
(Jakarta: CV. Rajawali, 1980), hlm. 39
[16] Edgar Bodenheimer, Op. Cit, hlm. 97
[17] W. Firedmann, Op. Cit, hlm. 150-151
[18] Ibid, hlm. 151
[19] Ibid, hlm. 151
[20] Edgar Bodenheimer, Op. Cit, hlm. 100
[21] Ibid, hlm. 100-101
[22] W. Firedmann, Op. Cit, hlm. 170
[23] Ibid, hlm. 171
[24] B. Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen Tentang Pengembangan
Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2013), hlm. 74-75
[25] W. Firedmann, Loc. Cit
[26] Edgar Bodenheimer, Op. Cit, hlm. 105
[27] Ibid, hlm. 105
[28] Ibid, hlm. 105
[29] Ibid, hlm. 106
[30] Ibid, hlm. 108